Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2016
Cara Pengenaan Utang Pajak  Menurut Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton dalam buku "Hukum Pajak(2004;22), ada 3 cara pengenaan pajak: 1. C ara Pengenaan di Depan (S telsel Fiksi) Pengenaan di depan merupakan suatu cara pengenaan pajak yang didasarkan atas suatu anggapan ( fiksi ) dan anggapan tersebut tergantung pada ketentuan bunyi undang-undang. Misalnya penghasilan seseorang Wajib Pajak pada tahun berjalan dianggap sama dengan penghasilan pada tahun sebelumnya, tanpa memperhatikan kondisi yang sesungguhnya atas besarnya penghasilan pada tahun berjalan yang seharusnya menjadi dasar penetapan besarnya utang pajak pada tahun berjalan. Dengan adanya anggapan demikian, maka fiskus dapat dengan mudah menetapkan besarnya utang pajak untuk tahun yang akan datang. Pasal 25 Undang-undang PPh merupakan contoh cara pemajakan di depan yang dilakukan dengan suatu perhitungan (formula) tertentu.  2. Pengenaan di Belakang  (Stelsel Rill) Pengenaaan di belakang merupakan suatu

Sistem Pemungutan Pajak

Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi tiga macam:         1.  Official Assestment System Merupakan sistem pemungutan pajak dimana aparat pajak yang aktif untuk melakukan pemungutan pajak kepada wajib pajak dan wajib pajaknya hanya bersikap untuk menunggu pemberitahuan pajak terutang. Besarnya pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak ditentukan oleh aparat pajak melalui surat ketetapan pajak(SKP). Pada awal tahun, fiskus akan mengeluarkan mengeluarkan SKP yang selesai pada akhir tahun untuk menentukan besar pajak yang harus dibayar/terutang sebenarnya.                2. Self Assestment System Merupakan suatu sisstem  pemungutan pajak dimana wajib pajak dapat melakukan perhitungan, pembayaran/penyetoran dan pelaporan pajak sendiri tanpa menunggu pemberitahuan dari fiskus, sedangkan fiskus hanya bersikap pasif dengan cara memberikan penerangan, penyuluhan atau melakukan verufikasi. Sistem ini mulai diterapkan pada tahun 1984, pada undang-undang Pph dan undang-undang PPN

Penentuan Tarif Pajak

Penentuan tarif pajak merupakan salah satu alat pemerintah yang digunakan untuk tujuan tertentu. Tarif pajak dibedakan menjadi empat: Tarif tetap: merupakan tarif pajak yang jumlah nominalnya tetap meskipun dasar pengenaan pajaknya berubah seingga jumlah pajak yang terutang tetap. Tarif ini ditetapkan dalam undang-undang nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Materai(BM). Dalam undang-undang tersebut tarif yang digunakan adalah BM dengan nilai nominal sebesar Rp 5.00,00 dan Rp 1.000,00. Nilai nominal perkembangannya selalu berubah-ubah berdasarkan PP RI nomor 7 tahun 1995 tarif BM tersebut dinaikkan menjadi Rp 1.000,00 dan Rp 2.000,00, yang selanjutanya dengan PP RI nomor 24 tahun 2000 tarifnya dinaikkan menjadi Rp 3.000,00 dan Rp 6.000,00 dan tarif itu berlaku sampai sekarang . Selain itu juga cek dan bilyet giro berapa pun nilai nominalnya dikenakan Rp 6.000,00.  Tarif proposional atau sebanding: tarif pajak dengan persentase tetap meskipun dasar pengenaan pajaknya berubah, dengan d

Perlindungan HAM

Reformasi Hukum dan Perlindungan HAM dalam konteks peraturan perundang-undangan di Indonesia Reformasi merupakan salah satu mata rantai sejarah perkembangan hukum di Indonesia, bahkan dapat dikemukakan reformasi hukum yang sedang dilaksanakan merupakan perkembangan ketiga setelah kolonialisasi hukum terhadap hukum adat pada masa penjajahan kolonial belanda yang dilanjutkan oleh proses transisi hukum dan transformasi hukum yang terjadi sejak awal kemerdekaan Indonesia sampai dengan berakhirnya orde baru. Perkembangan era reformasi dibidang hukum bersumber kepada ketetapan MPRRI  tahun 1998. Ada tiga ketepapan MPR-RI  yang menjadi sumber hukum, antara lain: Ketetapan MPR-RI  nomor  X/MPR/1998 tentang pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara Ketetapan MPR-RI NO. XI/MPR/1998tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN. Ketetapan MRP-RI NO. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Tap MPR-RI

Dasar Hukum & Pengertian Putusnya Perkawinan

PUTUSNYA PERKAWINAN Dasar Hukum & Pengertian Putusnya Perkawinan Putusnya perkawinan diatur dalam: Pasal 38 sampai dengan 41 UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 14 sampai dengan pasal 36 PP nomor 9 tahun 1975, pasal 199 KUHP Pasal 113 sampai dengan pasal 128 Inpres nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Yang dimaksud dengan putusnya perkawinan adalah berakhirnya perkawinan yang telah dibina oleh pasangan suami-istri, yang disebabkan oleh beberapa hal seperti kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan. Macam Putusnya Perkawinan  Putusnya atau bubarnya perkawinan dibedakan menjadi 4 macam: kematian salah satu pihak; tidak hadirnya suami-istri selama 10 tahun dan diikuti perkawinan baru; adanya putusan hakim; perceraian ( pasal 199 KUHP).  Putusnya perkawinan karena perceraian dapat terjadi karena dua hal: a. talak; b. berdasarkan gugatan perceraian. Talak adalah ikrar suami dihadapan pengadilan agama yang menjadi salah satu s

AGRARIA

Peraturan Menteri Dalam Negeri  No 10 Tahun 1983  Tentang  Tata cara Permohonan & Pemberian Izin  Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah Kepunyaan Bersama Yang Disertai Dengan Pemilikan Secara Terpisah Bagian-Bagian Pada Bangunan  Bertingkat Dengan telah diterbitkannya Peraturan Pemerintah nomor empat tahun 1988 tentang Rumah Susun & Peraturan Badan Pertanahan Nasional nomor 4 tahun 1989 tentang Bentuk & Tata cara Pembuatan Buku Tanah serta Penerbitan Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, PMDN nomor 10/1983 ini tidak berlaku lagi, terhitung tanggal 27 maret tahun 1989(Tanggal mulai berlakunya PKBTN tersebut) Isi PMDN nomor 10/1983 dan surat tanggal 7 januari 1984 nomor 188.32/124/Agr (C38 & C39). Setiap Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dan Gambar Denah didaftar dalam satu Buku Tanah(pasal 3) Bagi Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang telah dibukukan, dapat diterbitkan sertifikatnya dengan membuat: a. salinan dari Buku Tanah A

Domisili

Domisili  Dasar hukum dan Pengertian domisili  Tempat kediaman(domisiili) diatur dalam Pasal 17 KUH Perdata sampai dengan pasal 25 KUH Perdata.  " kediaman adalah tempat seseorang melakukan perbuatan hukum"( Vollmar, 1983: 44) Perbuatan hukum adalah suatu perbuatan yang menimbulkan akibat hukum, yang termasuk perbuatan hukum adalah jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, hibah, leasing dan lain-lain. Tujuan domisili adalah untuk mempermudah para pihak dalam mengadakan hubungan hukum dengan pihak lainnya. Unsur-unsur yang terkandung dalam rumusan domisili: a. adanya tempat tertentu(tetap atau sementara) b. adanya orang yang selalu hadir pada tempat tersebut; c. adanya hak dan kewajiban; d. adanya prestasi. Macam domisili Domisili dapat dibedakan menurut sistem hukum yang mengaturnya - Common law     a. domicili of origin,  adalah tempat tinggal seorang ditentukan oleh tempat asal seseorang sebagai tempat kelahiran ayahnya yang sah;    b.

Metode Pembuatan Surat Dakwaan

Metode Pemuatan Surat Dakwaan Didalam KUHP Pasal 184 ayat(1) menyatakan bahwa alat bukti yang sah adalah: Keterangan saksi Keterangan ahli Surat petunjuk  Keterangan terdakwa Dari kelima alat bukti tersebut praktis hanya surat yang bisa berasal/ada sejak tingkat penyidikan. Empat alat bukti lainnya harus diperoleh didepan persidangan, artinya walaupun dalam tingkat pemeriksaan pendahuluan sudah ada, tetapi dianggap sebagai bukti sah adalah apa yang terungkap dipengadilan. Khusus tentang keterangan terdakwa, KUHP Pasal 189 ayat(2) menyatakan: " Keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang dapaaat digunakan untuk membantu menemukan bukti disidang,asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya". Penuntut umum dalam menyusun surat dakwaan harus menggunakan metode tertentu yang bernilai " taktis strategis" , maksudnya harus menggunakan rumusan-rumusan yang elastis,lincah dan har

Penyelenggaraan Pemerintahan: Lanjutan

Penyelenggaraan Pemerintahan  Paragraf Keempat Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Pasal 33 1. Kepala daerah daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat(1), pasal 31 ayat(1), dan pasal 32 ayat(5) setelah melalui proses peradilan ternyata terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, paling lambat tiga puluh hari Presiden telah merehabilitaasi dan mengaktifkan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang bersangkutan sampai dengan akhir masa jabatannya. 2. Apabila kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat(1) telah berakhir masa jabatannya, Presiden merehabilitasikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang bersangkutan dan tidak mengaktifkan kembali. 3. Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 30, pasal 31, dan pasal 32 diatur dalam peraturan